Rss Feed
  1. Friday, July 31, 2015

    Untuk takut yang merayapi tiap inchi tubuh ini
    Demi Tuhan, aku ingin mati

    11.49
    31 Juli 2015


  2. Ketika Senja Temui Malam

    Saturday, June 13, 2015

    Senja kembali menemui malam
    Mengetuk pintu diantara takut

    Lalu disuguhkan secangkir kopi bersama malam
    Tak habis seteguk pun
    Hanya tumpah berjuntai juntai kata yg akhirnya termuntahkan
    Antara jingga bercampur merah wajah senja menahan tangis
    Terlalu pilu dalam satu rembulan ia menelan kata

    Tak pernah sekelu ini
    Tak pernah senja seluka itu

    Lalu hujan tak pernah alpa
    hantarkan dingin memeluk harap yg kian menguap
    Temani senja hingga malam kembali pergi
    Tapi senja terus menunggu malam, tak pernah bosan, tak pernah berhenti haturkan doa
    Hitung detik di antara menit, hanya ingin berdampingan malam
    Menunggu puisi bersama seniman malam

    17.47
    Jakarta, 13 Juni 2015



  3. Letupan Duka

    Friday, June 12, 2015

    Berputar dua rotasi bumi aku bernafas lega
    Walau masih tercekat
    Tersisa degup jantung yang kemarin berlomba terlalu cepat

    Semalam semua terasa suram
    Aku kaku tak berani bergerak sedetik jua
    Serupa magma, semua tumpah dalam caci yang penuh dengan maki
    Tertusuk, mengganjal di kerongkongan
    Aku mati asa
    Aku bisu tertelan kelu

    Duka ku tak terbendung, menghanyutkan tanpa ruang aku bernafas
    Beruntut, berbaris, mengait satu sama lain
    Membentuk mata rantai duka yang mencambuk hati dan relungku
    Aku, perempuan berkerudung duka

    Untuk tawa yang ku bagi kemarin sore,
    Hanya itu yang tersisa untuk setidaknya bahagia terlihat di bibir
    Karena air mata terlalu sungkan aku bagi
    Biar cinta terlihat di mataku, walau hanya nanar yang sebenarnya terasa

    05.15
    Jakarta, 12 Juni 2015


  4. Masih Lekat Terukir

    Thursday, June 11, 2015

    Takutku terjawab, dengan seribu diammu yg semakin panjang
    Lalu aku tetap kaku pada takut
    Bergema serupa memoar luka dalam kalbu
    Bayangmu masih pekat dalam mimpi, sebatas itu

    Entah selekat apa janjimu dulu terukir
    Belum memudar seberkas jua
    Masih bergaung jelas dalam ruang yang aku sebut puisi

    10.19
    Jakarta, 11 Juni 2015


  5. Berkabung Harap

    Wednesday, June 10, 2015

    Jakarta seharian ini terasa gelap tanpa hangat
    Kentara aneh diantara kemarau, tertiup angin gigil dari timur
    Aku mematung bersama beku senja ini

    Lalu kau bertandang
    Melukis kembali senyum yang bulan lalu kau telan bulat bulat
    Aku berkabung atas harap yang kembali akan kau gantung
    Karena dusta lalu ternyata terlalu pekat menggores luka
    Selaksa jiwa, sekosong dekap janjimu yang menguap

    Aku sekedar takut

    Takut, takut amarah memeluk namamu lagi
    Takut duka membayang di antara cerita kita
    Karena kata bisa serupa komedi
    Membangun cerita, namun hanya untuk tawa, tak bermakna sedalam doaku

    07.16
    10 Juni 2015


  6. Ada Kalanya..

    Tuesday, June 2, 2015



    Ada momentnya, kita membiarkan angin membawa diri melayang dan terjatuh di sebuah titik.
    Ada saatnya kita membiarkan kaki melangkah tanpa arah, hingga akhirnya terduduk di suatu tempat, entah dimana.
    Ada kalanya kita membiarkan hujan menguyur, memeluk kita dengan erat, dengan dinginnya, hingga akhirnya kita gigil dalam peluknya.
    Ada saatnya kita membiarkan fikiran begitu kosong, sekedar menghabiskan waktu dalam lamun beratus-ratus menit.
    Ada waktunya kita merasa begitu pasrah, menjalani segalanya mengalir begitu saja, tanpa ambisi berlebih, hanya ingin damai dalam hati.

    Lalu apakah itu titik nadir tanpa nilai?
    Tentu tidak.
    Karena ini adalah manusia, bukan robot tanpa asa.
    Moment ketika akhirnya kita harus mereda sedikit dalam berlari adalah waktu untuk mengingat kembali apa saja yang sudah kita lalui.
    Atau mungkin itu adalah ketika kita merasa begitu lelah setelah berlari dengan cepatnya, tetapi akhirnya kita tersungkur karena batu di tengah jalan.
    Ketika semua target, cita-cita dan visi tertancap mantap di depan dahi, tapi begitu sulit untuk kita genggam.

    Disaat itulah, kita ruangkan waktu untuk sekedar duduk. Sendiri saja, cukup kita, alam dan pemiliknya yang berdiskusi di waktu itu. Menghabiskan waktu berbincang pada diri sendiri, membiarkan mata menangis dan akhirnya menemui jawaban dalam jiwa sendiri, lalu bersyukur atas batu yang telah Rabb izinkan menjadi musabab tersungkurnya kita.
    Karena semua atas izin dari-Nya
    Sepilu apapun itu, sesakit apapun, sesulit apapun dipercaya, sejatuh-jatuhnya, apapun itu adalah bagian dari skenario-Nya.
    Ketika kita dijatuhkan dalam masalah, terlebih masalah yang begitu besar dan pelik, itu adalah pertanda kita akan naik kelas kehidupan. Kita dimasukan dalam masalah itu karena memang kita mampu, subhanallah, nikmat mana lagi yang kau dustakan. Masih diizinkan mengikuti ujian untuk naik kelas kehidupan. Belajarlah dalam hidup, agar mudah melewati ujian dan mampu naik kelas dengan nilai yang baik.

    Karena semua yang ada didepanmu, dihidupmu, baik ataupun buruk adalah bagian pelajaran kehidupan yg harus kita ikuti sebagai tahapan mengikuti ujian tadi.
    Lalu bagaimana untuk kita mampu naik kelas?
    Mengutip satu part dalam buku '9 Matahari'
     
    "Ada 3 aturan main untuk bisa naik kelas dalam sekolah kehidupan.
    1. Tidak menggunakan jarimu untuk menunjuk dan menyalahkan orang lain
    2. Putuskan rantai dendam yang ada dalam diri kamu
    3. Lalu ikhlaslah
    Ikhlas itu adalah bersyukur bahwa apa yg kita dapat hari ini adalah hal terbaik yang diberikan oleh Sang Pemilik Rezeki. Bahwa, masalah yang kamu hadapi saat ini adalah rezeki terbaik bagi kamu. Ingat, dia tidak pernah salah memilihkan peran dan skenario hidup seseorang."

    Ikhlaslah. Yakini rencana kita tak akan lebih sempurna dibanding rencana sang pemilik kita. Jika apa yang kita rencanakan tidak berjalan, dihentikan begitu saja, berarti rencana yang lebih indah akan segera berjalan atas izin-Nya, bersyukurlah, bersabarlah.
    Skenario Sang Rabb terlalu indah dan sempurna untuk mudah kita pahami, perlu tawadhu dan ikhlas untuk benar benar memahaminya.
    Hidup itu indah, jangan sampai rusak hanya karena nafas kita penuh dengan keluhan dan caci maki.
    Duduklah sejenak, merenung, berdiskusi pada jiwamu sendiri, ikhlas, bersyukur dan berbahagialah.

    Selamat belajar :)

    13.59
    2 Juni 2015

    Welcome JUNE!
     

  7. Langit malam nampak merah menahan tangis
    Simpan hujan yg tertumpah dini hari nanti
    Serupa lebam di pipi langit, menahan asa yg kentara terlalu sesak

    Lalu hendak kemana kata kata yg diredam dua pekan kemarin
    Sembilu di antara aksara hingga hilang nyawanya
    Menjaga sakral syair, sejujur-jujur puisi
    Tapi hati ternyata polos tanpa poles
    Hendak berkata, sejenak melunak

    Sudah lama tak ku lihat kau menari menggores seni
    Sebatas itu kau masuki ruang puisi?
    Berdansalah sejenak, dengarkan lagi dendang lama sambil bersajak

    20.32
    Jakarta, 26 Mei 2015


  8. Untuk Perempuan

    Friday, May 22, 2015

    Berpatut patut dibalik cermin
    Sekedar berbincang pada wajahnya sendiri
    Lalu ia tersenyum, tertawa, sampai akhirnya matanya memudar
    Air mata tak terbendung dalam jujurnya

    Bukan kali pertama luka tersimpan di lembah hatinya
    Dan lagi lagi marah pada diri yang rela tersungkur
    Memaki pantulan cermin, luapkan kata yg tertahan di bibir

    Tapi senyumnya tak pernah cela
    Tawanya masih sempurna dibagi dalam ruang cinta
    Dzikir sujud tak henti mendoakan kasihnya

    Karena perempuan terlalu naif untuk dipandang rapuh
    Pun terlalu tega untuk dibiarkan terus dan lagi tergores luka

    Matanya tetap bulat jeli hantarkan senyum di ujung bibirnya
    Lalu apa kau lihat sinar disana?
    Sudah mati bung, itu hanya topeng cantiknya menutup kecewa
    Tak ada kata penghantar asa di bola matanya, bisu tak terpecahkan

    Untuk perempuan yg sempurna diciptakan anggun oleh-Nya
    Muliakan diri, jangan lagi izinkan diri terjatuh dan berdiam
    Dirimu terlalu berarti untuk dunia
    Tersenyumlah tanpa noda, biar buramnya hati, kita simpan di ujung sujud sembah

    08.05
    21 Mei 2015


  9. Biar Sesak Meradang

    Thursday, May 21, 2015

    Setapak buram, sepekan hitam
    Tak terjamah air mata, karena amarah
    Kalau candumu sayatkan luka,
    Pergilah dengan hapus jejakmu sendiri
    Biar sesak meradang
    Biar luka bersarang, kubagi sendiri dengan jiwa

    07.47
    21 Mei 2015




  10. Menggantung anggun rembulan menggoda
    Sesayup angin timur tiupkan syair pekan kemarin
    Lalu hanya malam berteman seni yg tak pernah alpha
    Sekelam gelap temaram rembulan aduhay

    Lelaki itu tak bergeming sedetik jua
    Hanya melumat habis dapa per dapa tarian laut meliuk lembut
    Tidak pernah sedamai ini,
    Ditempat ini, dermaga kampung kita

    Belum ada kata per aksara pun jua
    Masih mengugu merawat seribu tanya perempuan diseberang sana
    Naif menyimpan asa, hingga busuk lapuk tak ingin dusta
    Tapi kata tak lelah menari
    Berputar seirama simfoni parade laut senja tadi
    Biar mati terkenang cerita, terekam abadi dalam sajak cinta

    Lelaki di ujung dermaga
    Seribu doa, selaksa mimpi, sekelu memori
    Berganti dua rembulan dalam tiap sujud sepertiga malam
    Biar namamu terbawa pelukan tarian ombak pagelaran laut

    00.24
    Jakarta, 21 Mei 2015

    Untuk lelaki di Ujung Dermaga Timur Indonesia

  11. Senandung Usai

    Sunday, May 17, 2015

    Detik terhitung menit, berputar serangkai waktu hingga akhirnya tenggelam hari
    Masih sunyi dari pekik, tanpa tangis, mungkin terlalu kebas

    Lamunan penuh tanya akan kejamnya tokoh yang santun lembut mengetuk hati kemarin
    Lalu tentang noda serampangan di dinding ruang puisi
    Konyol tak tergambar kata

    Seolah pena pun diam, tak mau dulu menari di atas kertas
    Lalu ritme kata dalam berpuisi kemarin mengalun dalam senandung usai
    Kosong
    Begitu kosong, melayang nyawanya
    Terbunuh dusta, tercabik harap
    Tersisa kosong, menguap sunyi senandung usai

    Yang terbenci adalah khianat
    Semudah kata dan janji terucap, begitu rendah tanpa nilai
    Tapi tak ada air mata, tak boleh kalah karena komedi kata
    Hati terlalu sibuk obati kecewa yg menganga tak terkira
    Lalu percayaku kembali ke titik nol
    Semua benar serupa bayang, terlalu semu

    18.34
    15 Mei 2015


  12. Tentang Kata

    Friday, May 15, 2015

    "Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari  menit, bahkan detik"

    Pramoedya Ananta Toer

    Aku menuliskan selarik bait ini karena merasa perlu meredam fikiran dengan fikiran sendiri. Bukan puisi, bukan juga prosa, hanya berbait-bait kata. Berbicara tentang kata, seperti tak pernah usai. Kata mengalir, bercerita, terangkai hingga menghadirkan makna semua tergantung si empunya, tergantung penulisnya, atau tergantung siapa yang mengucap dan seperti apa niat ia mengucap. Kesungguhan, kejujuran, ketulusan, maksud baik, pura-pura, berdusta, teknik menampilkan diri atau bahkan secara tidak sadar hanya membangun harapan yang ternyata kosong bisa disampaikan oleh kata, rangkaian kata.
    Terlebih sastra, aku terlalu menikmati sastra, mencintai dan terlalu bermesra dengannya. Entah kenapa dan mengapa, cita-citaku sedari kecil selalu tertulis dua profesi. Iya, cita-citanya selalu berubah. Pernah aku menulis cita citaku di bangku sekolah dasar dulu, ingin menjadi Sastrawan dan Guru, atau Sastrawan dan dokter, hingga saat ini aku mempunyai cita cita menjadi Sastrawan dan Entrepreneur. Tidak pernah berubah sedari kecil, profesi Sastrawan selalu aku tulis di urutan pertama. Entah, Sastra terlalu mempesona dan setia, seperti ketika aku begitu dimabukkan dan menulis puisi “Pesona Sastra” di blog ini juga. Bukan, aku bukan seorang ahli sastra terlebih orang yg begitu mempelajari teori sastra, aku hanya penikmat dan pecinta, terutama puisi.
    Puisi adalah ungkapan paling jujur, begitulah aku menggambarkannya. Aku terbiasa mengungkapkan yg menekan hati, membuncah bahagia, terluka karena duka, atau meletup syukur di dada ke dalam selarik puisi. Terasa begitu lepas dan tenang ketika usai doa, lalu menumpahkan kembali dalam harmoni kata, aah puisi terlalu sakral di hidupku. Puisi itu anggun, berkarakter, cantik, gagah, jujur, berani dan sering religius. Entah bagaimana menggambarkannya, kadang aku mencintai karyaku sendiri, dan berkali kali jatuh cinta pada untaian kata penyair lain yang jauh lebih merdu melodi kata-katanya.
    Tentang ruang yang aku sebut puisi, aku pribadi memasukinya dengan begitu khusyuk, karena itu ruang kejujuran asaku. Tidak tahu dengan penyair lain, ada yang menuliskan puisi untuk bergerak dan melawan ketertindasan, sebut saja Widji Thukul. Atau menggambarkan pribadi bangsa dalam pandangan pemuda, seperti Chairil Anwar. Tapi aku bukan ahli pengamat tokoh sastra, aku suka mengamati karya  yang begitu murni dari pribadi-pribadi di sekitarku. Aku mengenal Tentang manisnya untaian kata yang pertama kali dikenalkan oleh penyair terdekatku, Rahmah Amalya, kakakku sendiri, dialah guru terbaik yang tetap anggun dengan kata-katanya. Ia menuliskan puisi untuk menumpahkan tangis di selipan kata, karena tangis kita tak pernah berisik, tapi itulah nyawanya, aku mengaguminya. Di antara padatnya makna, dia bercerita banyak dalam puisi dan singkatnya sajak. Puisi tetap menjadi ungkapan paling jujur mungkin baginya. Lalu banyak lagi pribadi lain yang gemar merangkai kata, tidak bisa kusebutkan satu persatu, tetap apresiasiku penuh untuk mereka yang bersastra.
    Belakangan aku terusik dengan prinsipku sendiri. Iya, tentang jujurnya puisi sebagai ungkapan, rasanya tidak semua pribadi begitu. Entah mengapa renunganku berakhir dengan kesimpulan bahwa banyak pengembara asrama menggunakan puisi sebagai pegumbar nafsu, sebagai alat penakluk hati tanpa memandang kesakralan puisi. Ketika harmoni kata benar hanya permainan yang akan berujung pada kata “Game Over”. Puisi itu adalah ungkapan paling jujur, jangan digunakan sebagai alat melukai terlebih menyakiti hati, ia terlalu anggun untuk kelas permainan pencarian asmara. Terlebih terselip doa dalam baitnya, aah keterlaluan, semudah itukah berucap?
    Tak pernah terduga dan terfikirkan sebelumnya, ketika ruang ini yang dimasuki dengan sembarang. Mencoret dinding serampangan tanpa peduli bekasnya hanya mengganggu. Tak perduli tentang hati yang sungguh begitu sakral menyulam kata. Benar-benar tidak terduga ketika ini hanya permainan, karena memang aku mengutamakan apa adanya, karena itu adalah yang terbaik.
    Berbicara tentang kata, tak pernah usai. Untuk kata dan doa yang sempat terjalin, ikhlas dan syukur yang bisa dipupuk asa. Semoga tidak lagi ada hati terluka karena puisi yang serupa bayang, hanya permainan. Puisi menenangkan, anggun dan tempat berekspresi dengan jujur, bukan komedi kata, bukan lelucon semata.

    Salam Penyulam Kata
    Jakarta, 14 Mei 2015



  13. Mendekap Jarak Berbalut Doa

    Tuesday, May 12, 2015

    Malam menjemput asa perempuan duka keperaduan
    Setelah satu kejap mata terpejam dalam buai
    Lalu kembali terbangun dengan meluapnya rindu
    Masih berputar bayang wajah diantara pekatnya rindu sekosong temu

    Mengusir dingin yang menjalar dengan usapan wudhu
    Perpanjang sujud hanya ikhlas untuk berserah
    Ditiap butir doa, kutitipkan rindu sejauh jauh jarak peluk
    Aku mendekapmu atas ridho-Nya

    Di antara kosongnya kata dan suara,
    Masih tergores jelas cinta dalam relung kalbu
    Menumpahkan semua rasa dalam diam di atas sajadah pertengahan malam
    Setulus-tulus kasih, kutitipkan dirimu hanya kepada-Nya
    Biar semesta yg mempertemukan kita

    01.05
    12 Mei 2015
    Setelah Tahajud


  14. Narasi Perpisahan Scosient

    Wednesday, May 6, 2015

    "Truly great friend are hard to find, difficult to leave, and impossible to forget"

    Bismillah hi Rahman ni Rahim
    Ucapkan syukur atas semua nikmat yang masih diberikan kesempatan oleh Sang Rabb untuk kita rasakan. Setiap hembus nafas yang leluasa kita nikmati. Fungsi organ tubuh yang berjalan dengan lancar. Kelengkapan raga, fikiran dan jiwa yang masih melekat dalam diri.
    Senyuman sahabat yang masih kita temui, kehadiran saudara di rumah kita masing-masing, dan cinta dari kedua orang tua yang masih mengalir tanpa henti, selayak doa beliau kepada kita. Alhamdulillah, Alhamdulillah hi rabbil alamiin, Alhamdulillah hi rabbil alamiin, Alhamdulillah hi rabbil alamiin.
    Pernah terbayang ketika 1 menit saja oksigen dihilangkan dari bumi? atau beberapa detik saja organ tubuh berhenti bekerja, darah tidak lagi mau mengalir, jantung tidak ingin berdetak, pernahkah diri kita dalam satu sujud saja mengucap syukur secara khusus untuk nikmat tubuh dan hidup serta sehat yang masih Allah izinkan kita nikmati? Lalu kehadiran kerabat yang tak bosan memberi cinta, pernahkah dalam satu balutan doa, kita ucapkan syukur dengan ikhlas tentang kehadiran dan begitu banyaknya teman dan sahabat yang kita miliki, tentang semua indahnya kata dan cerita yang Allah izinkan untuk kita bagi.
    Tentang cinta dan doa saudara kita yang ternyata tidak pernah lupa menyebut nama kita disetiap ujung shalatnya. Masih ingat kan bagaimana kita bertengkar, mengacuhkan kaka dan adik kita dirumah, tanpa pernah perduli ternyata ia mengharapkan kasih dan kehadiran kita bersamanya dirumah. 
    Lalu tentang ayah dan ibu, hanya wajah asam yang kita berikan ketika uang jajan yang kita terima kecil atau ketika kita dilarang main atau sekedar keluar rumah. Hanya wajah asam dan sapaan ketus yang kita berikan. Pernah kita terfikirkan bagaimana perasaan dua pahlawan kita itu? Yang akhirnya gundah, khawatir setiap menit memikirkan anaknya yang pergi sekolah dengan wajah masam. Yang selalu memikirkan anaknya sudah makan atau belum, siang ini makan apa, apakah ada beban dihatinya ketika uang jajan hari itu begitu kecil, bukan karena apa, tapi memang uang ibunya hanya tersisa segitu.
    Pernahkah terhitung diantara kita, di setiap sujud lima waktu dan shalat malam yang ayah dan ibu dirikan, selalu ada nama kita disebut, hanya ingin anaknya bahagia, sehat seutuhnya, dan tersenyum esok pagi. Pernah tidak ya, kita memikirkan ayah tadi siang makan apa? atau sekedar menanyakan ibu nanti malam mau makan apa? aah, rasanya tidak, kita hanya terfokus pada apa yang kita terima, tanpa perduli kadang sikap kita begitu menyakiti dua orang yang secara ikhlas dan tulus mencintai kita...
    Astagfirullah hal adzim, Astagfirullah hal adzim, Astagfirullah hal adzim...

    Untuk semua nikmat, untuk semua cinta dan untuk semua izin Allah atas berjalannya kehidupan kita, jangan pernah lupa ucapkan syukur dan hamdalah. Karena kita tidak akan pernah tau, kapan semua itu akan diberhentikan. Jangan lagi marah, terlebih menyalahkan keadaan, bahkan ketika kita mendapatkan masalah, kita harus tetap mengucap syukur, karena itu adalah rezeki terbaik yang diberikan oleh Sang Pemilik Rezeki. Dan yakinilah, bahwa masalah adalah satu tanda bahwa kita akan naik kelas dalam kehidupan ini. Ikhlaskan dan Syukuri.

    Lalu hari ini, 4 Mei 2015, terhitung sedari pagi kita sudah menghabiskan detik-detik waktu hanya untuk kita, hanya untuk 30 orang dalam ruangan ini, hanya untuk kita, XII IPA 1. Dan tidak terasa waktu kita disini hanya sampai besok, kurang lebih sehabis ashar kita akan kembali ke Jakarta. 
    SMA, tiga tahun yang ternyata seperti terlewat begitu saja, tiga tahun, kurang lebih 1.095 hari kita tapaki bersama. Rasanya baru kemarin lulus SMP, lalu bingung mau masuk SMA mana, atau ada yang memang sudah menargetkan masuk MAN 9. 
    Lalu akhirnya kita bertemu, di MOS tiga hari awal SMA dulu. Belum, kita belum saling kenal. Belum tau anak manis bernama Halimatus Sadiyah, belum kenal anak lincah bernama Dede Darmawan, belum tau dua hokage bernama Kholil dan Aan, dan belum menyangka akan berteman dengan cowo bernama Choirul Arifin.
    Lalu akhirnya masa-masa sekolah berjalan begitu saja, masih ingat kan bagaimana kita awal kenal dulu di kelas XI IPA 1? masih malu-malu gitu, masih pelit ngasih contekan gitu, dan masih belum senyaman hari ini, belum selepas hari ini. Masih terekam jelas, rasanya pun baru kemarin, kita bangun sepagi mungkin, lalu lari lari kecil masuk ke sekolah sebelum pintu pagar di kunci sama si babe. Dan masih ingat jelas pagi-pagi menyalin pe er punya teman, karena semalam sibuk nonton bola. Atau masih ingat gak? omelan guru yang satu itu, Ibu Ris Mimin, tatapannya itu loh, menggetarkan. Masih jelas terlihat wajah Miss Tris yang repot dengan tingkah kita. Aah rasanya semua masih terlalu singkat untuk kita.
    Sampai akhirnya tidak terasa, sudah dua tahun kita ada dalam ruangan yang kita sebut kelas, dengan aksesoris yang isinya hanya meja, kursi dan selembar papan tulis. Semembosankan itu ruangan kita? Ooh tidak, di ruangan itu sudah terlalu banyak cerita, cita dan cinta kita yang secara tidak sadar sudah kita rajut bersama. Di ruangan itu tidak pernah alpa suara tawa kita, suasana tegang kelas, atau sekedar belajar demi mengejar nilai UTS, UAS dan UN. Cerita di antara kita ngga bisa dijabarkan satu malam ini, terlalu panjangm terlalu indah, dan terlalu sayang untuk akhirnya nanti akan terlupa.
    Dan secara tidak sadar, moment di tempat ini akan menjadi moment terakhir kita bisa berkumpul selengkap ini, besok, lusa dan seterusnya kita ngga lagi masuk ruangan kelas XII IPA 1. Kita tidak akan lagi menggunakan seragam yang itu-itu saja, putih abu-abu. Tapi sadar tidak, kita akan begitu merindukannya nanti, iya nanti, 3-4 tahun ke depan. Ketika tidak ada lagi suara tawa melengking dari Tijah, banyolan khas milik si Dede, atau ngga nemu lagi Fadhil yang hobi tidur di kelas. Aah sudahlah, biarkan tiga tahun SMA, dan dua tahun satu kelas bersama kalian menjadi album manis yang akan aku simpan sebagai bekal dan pembelajaran di setiap langkah kehidupanku yang sebenarnya besok dan nanti.
    Oke, selesai sudah masa SMA. Usai sudah bangku sekolah. Katakan selamat datang pada dunia baru, perkuliahan. Bayangkan dengan jelas diri kalian dengan almamater-almamater universitas kalian nanti. Lihat dengan baik bagaimana gagahnya Ipin dengan almamater hijau UNJnya, atau Aan dengan almamater Biru dongker IPBnya, Sila dengan jurusan Ilmu Gizi IPB. Bayangkan dengan baik sosok kalian ketika kuliah nanti, lihat dan rasakan dengan jelas.
    Lihat, begitu jelas mimpi kita sudah terancang. Merentang lebar siap menyambut kita. Masih panjang perjalanan kita di depan. Genggam, genggam lebih erat tangan kawan di sampingmu, rasakan denyut dan aliran darah semangat yang ada di sana. Semangat kita masih sama, XII IPA !, Scosient siap menaklukan dunia! Kita akan tetap sama, masih akan tetap begini sampai nanti. Jangan pernah lupa akan cerita kita, dan jangan luput semangat dalam dada. Karena kitaa, SATUU!!
    (Berputar lagu Bondan Prakoso, Sang Juara)
    Dalam hitungan ketiga, lepaskan, teriakan sekuat mungkin nama kelas kalian! Satu, Dua, Tiga.. SCOSIENT!!!


    Narasi Perpisahan yang saya tulis, lalu saya bacakan di tengah lingkaran renungan malam perpisahan kelas adik saya, XII IPA 1, MAN 9 Jakarta. Senang rasanya ada dalam bagian bahagia dan tangis perpisahan mereka.
    Adik saya, Choirul Arifin, yang sedari Februari kemarin tengah merasakan Kanker Nasofaring yang ada dalam rongga hidungnya. Tidak mudah bagi dia menyelesaikan bangku persekolahan SMA berbarengan dengan serangkaian pengobatannya, kemoterapi dan lainnya, melaksanakan UAS dan UN di ruang UKS.
    Tetapi ternyata semangat dari teman-temannya begitu luar biasa, kehadiran mereka setiap hari dalam perjuangan itu begitu menularkan semangat dalam diri adik saya Terima kasih untuk persahabatan dan keikhlasan doa kalian untuk Ipin.
    Semangat yaa, jalan kalian masih panjang, selamat melepas masa putih abu-abu adiks :)

    4 Mei 2015
    Cisarua, Bogor



     Terima kasih Scosient :)

     Selfie bareng, serasa 4 tahun lebih muda :D


    Bersama Choirul Arifin, alias Ipin, Alias Ilul :D


  15. Cinta di Butir Doa

    Tuesday, May 5, 2015

    Pertengahan malam setelah tiga bulan kita mengenal
    Hatiku tak bisa jauh dari nama dan bayangmu
    Bisikan sepi selalu mengejek
    Bayang kehilangan selalu menjadi hantu dalam lamunan

    Karena cintaku terlalu lekat akan kamu
    Semakin rindu semakin gagu, lalu aku hampir mati menahan kata

    Namun doa yang selalu terucap dan hati yang selalu ikhlas
    Yakinkanku akan sebuah kebahagiaan
    Atas nama Allah asa ini tumbuh
    Memupuk cinta dan cita di penghujung sujud

    Untuk semua kata yang terucap
    Untuk semua doa diakhir shalat
    Kuyakinkan Semesta mengaminkan

    Jalan kita masih panjang, semua akan baik saja :)

    5 Mei 201
    Seniman Malam kembali Menyulam Kata di antara 1420 km


  16. Semanis tawa, seanggun senyum
    Indah cinta kembali menyapaku dengan halus
    Di antara kata yg mengalir bersama kita
    Setidaknya rinduku terbalut lagi cintamu

    Selingkar untai diksi
    Melukis lagi puisi kita
    Sepenuh asa, selekat-lekat rindu kita bertabur

    Lalu kapan kita bersua?
    Aku tak tau,
    Biar Rabb Sang maha cinta yg mempertemukan
    Agar lebih indah, tak terkira rindu kita membuncah

    12.21
    5 Mei 2015


  17. Sapa Semu Untuk Nona

    Sunday, May 3, 2015

    Seharian ini Jakarta hujan
    Sederas deras rindu, selekat dingin hadir memeluk nona

    Lalu puisinya kembali menari
    Berputar makna tak mau lekang dari bayang prianya
    Apakah semu?
    Ia tak tau

    Sepucuk cinta yang ia mengerti
    Sapa kosong pertengahan malam tadi
    Dan tak lagi berpantul setelah jawabnya dengan buncah hati
    Sungguh nona menanti seharian ini,
    Lagi lagi berteman hujan tiada henti

    Lalu nona mengeja kata cinta satu setengah purnama kemarin
    Tersungging senyum, walau matanya basah tak mampu tertutupi
    Cintanya belum jua luntur, semakin lekat di antara sunyi
    Menunggu tuan sudi sudahi permainan menggores hati
    Jangan lagi lukai, tulus hatinya hanya ingin dihargai

    16.36
    Jakarta, 3 Mei 2015


  18. Lembayung Senja

    Tuesday, April 28, 2015

    Serupa kanvas
    Tertoreh, terlukis dengan eksotis
    Tertumpah warna, jingga, merah muda dan biru laut
    Langit Jakarta sedang sangat memikat

    Seperti senja ini,
    Ku nikmati lumat-lumat lembayung warna nan anggun
    Tiada ucap selain syukur

    Lalu aku lagi-lagu terpana kepada singgasana-Mu
    Meliuk indah, beriak panorama, ooh tak mampu lagi ku sebut
    Aku jatuh cinta,
    Pada langit di ujung jalan selat selayar petang ini

    17.55
    28 April 2015

    Jl. Selat Selayar, Jakarta




  19. Lirih terdengar tipis, sajak berbulan lalu kulantunkan untukmu
    Kita beri nama, Sebait cinta dalam puisi
    Delapan belas maret terajut kata

    Masih terekam manis ketika kau ucapkan syukur
    Atas asa yang kita yakini bernama cinta

    Lembayung senja pun cemburu melihat kau mendekapku
    Sejauh jarak seribu empat ratus dua puluh kilo
    Tak berarti untuk kita, waktu itu

    Lalu tentang rindu,
    Yang ternyata terlalu pongah menyita waktu
    Bermalam-malam tanpa jeda kata,
    Iya, hanya rindu membelenggu

    Dan untuk alurmu,
    Antara ragu yang membuatmu gagu
    Aku menikmati sunyi dan ucapmu sebelum mata memejam
    Dan aku.. Hanya bisa menunggu
    Merindu berpuisi bersamamu

    12.11
    28 April 2015

  20. Penikmat Hujan

    Sunday, April 26, 2015


    Duduk manis penonton hujan
    Berdetik menit tak peduli dingin tertular
    Sesimpul senyum tak lekang dengan mata berbinar
    Aku memeluk hujan senja ini

    Langit merah muda turun perlahan menjemput malam
    Rasanya enggan temui lagi gelap yg kentara pengap

    Ku tatap lumat-lumat rintik dengan setia
    Hadirkan simfoni tanpa kata
    Aah.. Terlalu merdu untuk seorang wanita

    Lalu jemari mulai membeku
    Tak izinkan hangat darah mengalir membantu
    Mungkin bermesra hujan terlalu dibuai nafsu

    Tapi memang rinai ini tak pernah alpa
    Walau hanya sekedar menyapa
    Pudarkan air mata di pelupuk mata
    Lahirkan syair berjuta-juta kata

    17.56
    26 April 2015

    Setelah bermenit-menit menikmati hujan di halaman rumah..



  21. Tunggal
    Tak berpantul selayak cermin
    Bayang pun acuh
    Tunggal
    Tanpa gaung berganda
    Bisu berdesing sunyi
    Memekakan telinga tanpa suara

    Kau!
    Pengembara congkak berbekal tongkat
    Tapi tak cukup nyali
    Masih berpaling ke belakang langkah
    Menunggu cinta lama kembali?
    Ah, Tak bernyali!
    Rasanya janji tersangkut dalam buai mimpi

    Aku pendayung perahu di atas sungai tak berpenghuni
    Merapatkan diri di bibir air, menatap nanar selaksa hutan
    Gelap tak tersentuh nyawa
    Hanya resah menghitung hitung hari yg rontok percuma
    Menunggu siapa?

    Tak mampukah mendayung sendiri?
    Topanglah raga hati walau rapuh utk berdiri
    Karena tak akan berlabuh jika berdayung mundur dgn lelaki tak bernyali
    Biar dia mengubur lampaunya dulu
    Baru sudi menyapa kembali

    23.23
    Jakarta, 25 April

  22. Memecah Bisu Ruang Rindu

    Saturday, April 25, 2015

    Jingga terbuka selebar-lebar senja sabtu ini
    Di antara rintik yg manis perlahan menyentuh tanah dengan dingin
    Namun pelangi belum mau lengkungkan seberkas senyum

    Setelah bermalam-malam penuh rindu aku beku di antara bayangmu
    Ingin menampik cinta yg terlalu lekang dalam jiwa
    Tapi aku tak mampu
    Aku terluka setelah sapamu dengan masa lalumu
    Aku tak ingin kau sebercanda itu

    Di setiap butir tasbih, ayat ayat doa dipenghujung sujud lima waktu
    Aku masih menyebut namamu

    Lalu sapa memecah rindu yg semakin pucat pasi sedetik waktu
    Memeluk kata, sesederhana itu aku merindumu
    Tularkan hangat dalam jiwa yg kelu membisu
    Terima kasih atas sapamu semalam, wahai pelukis rindu

    17.45
    25 April 2015


  23. Sekuat Kata dalam Suratmu

    Tuesday, April 21, 2015



    Tiap lekuk wajahmu semakin lekung gariskan tubuh yang perlahan terkikis
    Gelap tak niscaya sinar dalam sorot mata yang teduh namun redup
    Wajahmu menyimpan sakit dalam raga dan hatimu dik

    Ku dendangkan lagi nada nada tulusmu dalam secarik surat singkat untuk sang Rabb
    Surat yang kau tulis satu setengah tahun lalu, sehari setelah bertambahnya usiaku
    Terluapkan luka berbalut duka dalam takut bimbang akan cinta yang tak jua memeluk istana kita
    Aku tak pernah seperih ini membaca tulisanmu
    Untuk semua duka yang harus tergoreskan dalam emasnya jalanmu,
    Untuk semua kata yang harus kita telan di dalam ruang bisu perkara tiap pribadi
    Aku yakin, ini nikmat yang terlalu kaya untuk kita

    Belum dua dekade kau menapak jejak di atas tanah atas izin-Nya
    Masih panjang cerita terukir di atas altar hidupmu hai pangeran kecil
    Jangan lagi redup
    Kau tak boleh sasar akan asa yang tertular nafsu
    Kau terlalu tangguh untuk kalah
    Semua proses dalam peliknya cerita ini, kau tokohnya
    Tenanglah, ikhlas, yakini itu..

    18.37
    21 April 2015

    Sepulang tengok kemoterapi kedua adik di RSCM

  24. Untuk apa kau terus menyulam?
    Menusukkan jarum demi jarum di antara jemari
    Sadarkah kau? Tidak ada seberkas kainpun yang kau pegang
    Sudah, jangan lagi kau tusuk jarum diujung jemarimu
    Usailah tiap tetes darah yg akhirnya percuma untuk terjatuh

    05.37
    21 April 2015

    Karena perempuan terlalu berharga untuk melulu terjatuh dalam luka
    Selamat Hari Kartini Perempuan Indonesia


  25. Kata Dalam Gigil Subuh

    Monday, April 20, 2015

    Subuh kembali menjemput
    Setelah engkau lagi lagi menembus pagi dalam diam

    Aku mencarimu dalam setiap detik malam berdentang
    Tak jua mengerti akan alur yang kau maksud
    Sunyi tanpa kata dan suara, seperti ini alurmu?
    Hey, diam bukan pilihan tepat untukmu saat ini

    Untuk perempuan yang kau beri nama Lentera
    Akan meredup jua ketika diacuhkan dalam malam panjangnya
    Ia tak akan benderang ketika tak ada yang memantik api untuknya

    Subuh ini aku melawan gigil yang dari semalam menyelimuti
    Membasuh wudhu sekedar tenangkan hati
    Melantunkan bait bait rindu berhias air mata dipenghujung sujud
    Lagi lagi namamu yang berputar
    Bergetar dalam ucapku nan semakin pilu menantimu

    Ya Rabb
    Aku mohon dengan sangat
    Lunakkan hatinya,
    Sekedar datang memberi kabar
    Karena aku ternyata terlalu mencintainya

    05.03
    20 April 2015
    Setelah sujud panjang menumpahkan rindu yang belum mendapatkan tempat bertumpu


  26. Bincang Hati Pagi Ini

    Friday, April 17, 2015



    Aku bertandang ke taman penghabis penat jumat pagi ini
    Menuntaskan duka yang terus merundung tak mau usai
    Berbincang dengan angin ramah mengusap pipi
    Menumpahkan rindu yang tak jua lekang di setiap denyut nadi

    Mendendangkan syair dalam hati
    Berdamai dengan jemari yang lagi mengetukkan aksara dalam layar
    Karena ruang ini aku beri nama puisi
    Berlama-lama menghabiskan waktu untuk sendiri
    Sekedar mematut bayang diri di atas kolam pagi secerah ini
    Lalu aku bertanya pada pantul wajah di atas tenang air
    Hendak kemana? Apa yang terus jua kau tunggu? Lalu apa lagi yang kau takutkan?

    Nikmat Tuhan mana lagikah yang kau dustakan?
    Seduka dukanya luka dalam istanamu?
    Sekelam-kelamnya harmonis yg belum jua menghampiri asalmu?
    Sedalam-dalamnya penyakit yang mengganggu pangeranmu?
    atau sejauh-jauhnya pelipur rindumu yang belum hadir menemuimu?

    Semua akan luruh dalam balutan doa, seromantis cintamu kepada Sang Rabb
    Karena tidak selalu duka yang ada dalam skenario hidup
    Dan tidak melulu gelap dalam singgasana langit-Nya
    Ketika malam semakin kelam, maka matahari sebentar lagi akan terbit

    Tersenyumlah,
    Kita sudah akrab dengan duka dan luka
    Dalam cengkraman kalut, takut dan mata berkabut
    Makhluk seperti kita bisa hidup hanya karena makna ikhlas, syukur dan tawa
    Kembalilah pada hakikinya kehidupan
    Jangan lagi tertutup kotak mimpi, buka selebar cakrawala akan menyambutmu
    Karena kamu adalah pemenang

    10.06
    17 April 2015

    Taman Soeropati, Jakarta

  27. Menetap Dalam Bingkai Alurmu

    Wednesday, April 15, 2015

    Gerimis datang, selimuti malam yang terus merangkak naik di ujung Jakarta
    Temani aku mengeja waktu di stasiun kereta selarut ini

    Di antara bisingnya ibu kota
    Di antara penuhnya manusia berjejal tanpa ampun mengejar metropolitan
    Di antara kusutnya wajah sisa lelah seharian ini
    Di antara remuknya tubuhku, hanya mendamba rehat
    Di antara fikiranku yang tumpang tindih berlari
    Tapi ternyata, kamu masih terus membayang
    Mengelabuhi aku dengan rindu yang terlalu kental
    Aku bisa gila

    Kamu harus tau
    Aku tidak bisa pergi
    Menetap pilihanku
    Aku menunggu bingkai alurmu
    Karena setulus-tulus hati ini, tak pernah senyaman goresan sajak seorang seniman malam

    Telah hangat kau menuntunku mengerti ikhlas mencinta
    Telah panjang mimpi kita ukir untuk nanti
    Telah penuh percayaku akan kamu
    Aku ingin menjadi penghebatmu
    Memungkinkan semua kata dalam cita bersama cinta kita
    Atas nama Allah, semoga di Ridhoi-Nya

    20.38
    Stasiun Pondok Ranji, setelah perjalanan panjang hari ini, 15 April 2015


  28. Tidurku tak lelap semalam tadi
    Gelisah tak keruan mimpi
    Menunggu sapa manismu seperti malam-malam bulan kemarin

    Aku bukan lelah, hanya terlalu pilu dalam rindu yang mengganggu
    Terlalu kelu karna acuhmu yang sungguh menyakitkan
    Jika itu dukamu, berkatalah, sisihkan dukamu untuk kau bagi dengan aku
    Itu yang disebut dengan cinta

    Pukul tiga aku terjaga
    Membuka jendela yang biasa kita bertukar sapa
    Kosong ternyata
    Kau masih angkuh memelihara kata

    Karena doa adalah ungkapan paling rahasia,
    Aku bersujud dalam air mata yang harus tumpah karna rindu akan kamu
    Ku dendangkan ungkapan hati di atas sajadah menembus pagi segelap ini
    Atas jarak yang akhirnya lagi kau ciptakan
    Terlalu sesakkanku untuk rindu yang kau untai sejauh jauh ucap terdengar

    Aku tak bisa pergi, aku tak lelah untuk menetap
    Hanya ingin melihatmu datang
    Karna bunga ingin diperjuangkan sebelum di petik
    Kemarin datang empat kumbang menganggu
    Tertampik semua untuk tulusnya bunga ini menunggu
    Menunggu cinta yang sudah terjalin satu purnama ini
    Katanya, kita sudah menyatu
    Aku hanya bisa berdoa

    03.24
    15 April 2015


  29. Malam Angkuh

    Tuesday, April 14, 2015

    Aku tak pernah membenci malam
    Ia terlalu tenang, mesra dan menghanyutkan utk bisa dibenci

    Malam
    Walau kelam
    Tapi mampu buatku tenggelam
    Mengajarkan butir-butir sajak
    Menggoreskan seni pada ritme cinta
    Pada kata yang terlalu sakral, rindu

    Rindu menjalar perlahan, namun pasti mencekik
    Sesak, tertelan bisu di antara sunyi
    Sunyi sang malam

    Lalu malam pasti datang, setelah petang menghantar bersama kumbang
    Tapi dekapan malam akan merenggang, ketika fajar harus menyapa
    Karena tidak ada kata abadi,
    Maka jangan kau tanam percaya pada hati manapun
    Siapapun, akan memanjakan ego di antara cintanya yg angkuh

    Ah, rasanya kata percaya begitu kosong di hati itu
    Tak bernilai
    Tanpa penghargaan
    Aku pun akhirnya meragu
    Titik nadir pasti akan ditemui
    Ketika kosong terlalu sering menyongsong, di antara upaya yang ternyata tak bisa bersambut kasih
    Kosong
    Semu
    Serupa bayang cinta

    Malam pun tak seramah biasanya, setelah genap satu rembulan

    12.22
    14 April 2015


  30. Ajak Aku Bersamamu

    Sunday, April 12, 2015



    Di dalam ruang yang aku sebut puisi
    Kau berdenyut,
    Memberikan nyawa pada nadi tiap bait kata

    Ku eja lagi sajakmu bernama lentera yang kau kirimkan hari kemarin
    Aku perih dalam kata kata itu

    Izinkan aku menjadi teman dalam jalan setapakmu
    Pelipur lara di antara harapmu yang mungkin harus terjawab kosong di antara malam
    Tempatmu kembali, menumpahkan segala pilu, duka dan marah
    Aku ingin kau percayai itu

    Karena cahaya pasti akan terbit setelah gelap
    Dan kelam tak mesti mendekapmu dengan tega
    Jangan lagi kau tutupi nanar dalam mata yang belum mampu aku tatap

    Ajak aku bersamamu,
    Melewati batu, terjatuh, terluka, atau kecewa,
    Tapi kita akan tetap tersenyum
    Karena aku bersamamu :)

    09.41
    11 April 2015

  31. Pesona Sastra

    Saturday, April 11, 2015



    Aku ingin menulis saja
    Menghabiskan waktu di antara tarian kata
    Memabukkan diri akan pesona sastra
    Menghilangkan raga, hingga yang tersisa hanya sejarah karya

    Aku tak akan berhenti menyulam kata hadirkan makna
    Tak bosan bertasbih di bait bait cerita
    Menikmati rindu, cinta, mimpi dan perjalanan yg berputar di antara kita
    Bagai spektrum cahaya, tampilkan pelangi dipenghujung senja

    Sajak meniti pelita, hidupkan asa sekosong-kosong jiwa
    Mengeja nikmat di setiap perkara, berdamai ketika syair tergores di ujung pena

    Serupa nebula, kemilau anggun di antara bintang membingkai sketsa
    Ku rangkai mimpi menjadi arsitektur makna
    Aku jatuh cinta pada sastra, diantara sulaman kata


    11.49
    Jakarta, 11 April 2015

    Karena puisi itu sakral bagiku, adalah ungkapan paling jujur dari hati dan fikiran.
    Dan puisi adalah bagian dari sastra yang kaya. Pesonanya begitu memabukkan dalam permainan kata. Sastra itu adalah candu. 
    Kau bisa terlihat begitu anggun, cerdas, bijak, matang, dewasa, atau justru kau akan terlihat begitu luka, jatuh, lemah, tengik bahkan terbelenggu kemunafikan di dalam berbait bait sastra. 
    Sastra adalah kehidupan ♡




  32. Malam lagi lagi memeluk kita diantara kata dan cinta
    Membasuh pilu dalam kelam yang ikut mendekap kuat hingga nafas seakan sesak.
    Ketika rindu sampai ubun-ubun, menjalar ke seluruh sendi dan relung
    Ragaku seakan terhempas, terlepas dari jiwa.
    Rindu ini kejam tanpa pelampiasan

    Aku hanya ingin kau miliki
    Di lahirkan hanya untukmu,
    dan kamu dilahirkan hanya untuk aku
    Tuhan...
    Itulah pintaku dalam sebait doa yang aku lantunkan ditiap ujung shalatku

    Untuk semurni-murni kata cinta
    Untuk selekat-lekat janji
    Dan seindah-indah mimpi kita
    Abadikanlah kisah cinta ini dalam balutan kasih asmara yang dihalalkan dari ucap akad

    11 April 2015
    1420 km


    Karena berpuisi bersama seniman malam selalu mampu tularkan nyaman nan tenang penghantar tidur

  33. Belenggu Rindu

    Thursday, April 9, 2015

    Kamu percaya tidak?
    Aku menangis menunggumu

    Ketika belenggu rindu terlalu mengukung, memukul, dan terlalu kaku untuk berkata
    Aku hanya ingin menunggumu lagi menyapa

    Malam semakin kelabu berselimut hujan yang baru saja turun
    Seperti tau akan luka yang akhirnya tergores lagi
    Dingin yang memeluk malam tak bergeser sedikit pun
    Angkuh begitu pongah akan sunyi yang kau rawat

    Kamu percaya tidak?
    Aku menangis menunggumu

    Ku ucap lagi harap dalam sebait doa berulang
    Memupuk cinta di antara perihnya rindu
    Tak inginkah kau sekedar obati?
    Mendekapku dalam kata yang terlalu lama ingin ku dengar
    Mengertilah..

    11.52
    9 April 2015


  34. Sajak Sang Malam

    Tuesday, April 7, 2015

    Photo by : M. Ario Nugroho


    Seribu tanya menggantung di antara pekat malam
    Ketika rembulan utuh sungguhkan wajah penuh senyum
    Tak ada semu di setiap lembar cahaya yang redup menenangkan itu

    Kenapa hanya remang bulan yang kutemui dalam dingin sesenyap ini?
    Lalu bintang bertengger dengan anggun tanpa sapa?
    Kata-kata terlalu erat dalam peluk yang hanya serupa metafora
    Dan wajah teduhmu lagi-lagi menemuiku di antara buai lelap sepertiga malam

    Aku bercumbu dengan sunyi
    Bercengkrama dalam rindu yg memang harus tersimpan
    Kata yang tak terucap, tapi terangkai dengan indah,
    dalam sebait sajak sang malam

    Terurai begitu saja dengan kosong
    Lalu, ku selipkan lagi mimpi dan cinta di nadimu
    Ku titipkan sepotong hati dalam jarak yg terukur di antara kita
    Menjuntai harap, untuk kau kalahkan ruang dan waktu yg kian mengganggu
    Karena rindu terlalu kelu, menunggu mata sayu menyapa dalam temu


    22.34
    6 April 2015




  35. Dekapan Rindu Setulus Hati

    Saturday, April 4, 2015


    Setelah rindu kau juntai sejauh-jauh jarak peluk seniman malam
    Setelah kata yang semakin pelik kau eja diantara sunyi
    Aku hanya bisa menunggu dalam pilu

    Karena malam pasti akan menjemput
    Seindah-indah harap yang kemarin kita rajut
    Dan terang akan tetap terbit
    Tak pernah luput hangatkan hati pecandu simfoni kasih

    Karena doa adalah setulus-tulusnya rindu yg tak terucap
    Dipenghujung fajar, aku lantunkan kembali namamu diantara sajadah
    Dipelupuk mata sayu yg tiada bosan mengukir mimpi

    Atas cinta yang kau jaga, aku menunggumu hadir untuk ucapkan janji suci
    Sedalam-dalamnya, seikhlas-ikhlasnya..
    Atas nama Allah


    08.27
    3 April 2015

  36. Sedari kemarin dingin terasa erat memeluk
    Tak mau pergi hingga pagi
    Nampak enggan tularkan hangat walau sekedar dalam kata
    Membungkam diri, mungkin lebih baik

    Terima kasih untuk untai kata yang kemarin kita sulam bersama
    Kau tuntun aku untuk lagi mencinta dengan ikhlas
    Hanya terucap dalam sujud
    Dan terobati dalam buai seusai terlelap

    Tak ingin lagi menuntut
    Hanya tulus tanpa beban yang dinanti
    Berjalanlah...
    Aku tak lagi memaksamu
    Kembalilah, ketika Allah mengizinkan kita bertemu

    Karena kadang kata-kata tak sedalam hati

    28 Maret 2015


  37. Senja menatap sinis
    Seakan acuh tak mau disapa

    Lalu aku pilu
    Termangu atas tegur yang kosong

    Angkuh, tak lagi ramah dalam mata
    Apa salah sekedar merindu?

    Aku pulang...
    dalam jalanku,
    senyumku mengembang,
    Hujan...
    Hujan masih mau memelukku dalam bodohnya aku

    Berputar,
    Melangkah sejauh itu, hujan tetap bersamaku
    Walau gigil, tapi hanya air dingin ini yang selalu hadir menghibur
    Satu lagi ceritaku yang terekam dalam deras hujan petang ini
    Di antara hiruk pikuk ibu kota, aku bercengkrama dalam bisu
    Bersama sunyi yang ternyata belum bosan bersahabat

    Untuk harap yang aku titipkan di atas kokohnya pundakmu
    Mimpi yang kemarin kau bangun dengan cinta
    Dan kata yang tak pernah terurai dalam dekapku
    Maaf,
    Aku terlalu merindukanmu

    Suaramu yang hadirkan simfoni tanpa cela
    Kata rindu yang tanpa bendung
    Aku hanya ingin mendengarnya lagi


    Setelah menghabiskan sore dalam perjalanan berhujan..
    17.13
    26 Maret 2015

  38. Ku Peluk Jarak dalam Aksara Rindu

    Friday, March 27, 2015

    Di pertengahan malam ini, di antara hujan turun tiada henti
    Aku melukis wajahmu dalam embun hujan di balik kaca jendela
    Sambil mendengar gemericik setiap tetesnya di atap rumah,
    bagaikan musik alam nan merdu

    Hatiku tak menentu malam ini,
    terasa bahagia tak lagi mampu ku bendung
    Membuncah...
    Detik jam kian menyatu diantara kelam menemani,
    Bagai melodi dalam menikmati kebahagiaan ini

    Ku eja lagi aksara rindumu sore tadi, terekam tulus dalam tiap ucap
    Aku rindu..
    Aku rindu,
    katamu di seberang sana,
    Terhalang seribu empat ratus dua puluh kilometer
    Tapi aku masih mampu terjemahkan dengan jelas

    Kita ucap lagi sebait doa pelipur rindu hari ini
    Sebagai penyemangat untuk dua insan yang terpaut kasih yang terhalang jarak
    Pintaku malam ini, satukan kami dalam cinta yang abadi

    Jakarta - Makassar

    24 Maret 2015

  39. Tepat pukul dua pagi dini hari
    Gelap masih memeluk dalam pekat yang tercekat
    Lalu kata semakin sulit terucap
    Karena ego yang mungkin sudah mengikat

    Baru tiga belas jam lalu aku membeku diantara lagu manismu
    Kamu hadir entah karena rindu atau kaku pada pintaku
    Yang aku tau siang tadi,
    aku terlalu ingin mendengar suaramu

    Cinta hanya ingin tulus tanpa cela
    Mengalun perlahan, namun membekap tanpa ampun
    Hingga menjadi candu, yang melulu membuatku merintih rindu

    Mungkin asa yang tak terucap,
    Pilu yang tak terungkap,
    Dan kasih yang ikhlas di tiap doa,
    Akan lebih berkilau di hatimu

    Akan kudendangkan lagi lagu yang membisu,
    Di antara sapa yang terputus dalam jarak

    02.05
    27 Maret 2015

  40. Kutemui lagi sunyi malam dingin
    Masih tetap menatap butir hujan di kaca jendela

    Sudah sepekan ini malamku menjadi lebih panjang
    Habis diantara gundah menanti kabar
    Menanti kata yang menari di antara jemarimu
    Kata yang serupa pupuk tumbuhkan senyum tanpa hujuang dikulum bibir

    Sudah hampir dini hari,
    Mataku sayup, hampir pasrah menatap layar yang tak jua bergetar mengantar kabar
    Aku tetap menantimu,
    Menantimu yang sekedar mengirimkan kata pengantar mimpi, seperti sepekan lalu

    Untuk kata yang mungkin sempat melukaimu di hari kemarin
    Atau mungkin gores kecewa pada hatimu,
    Aku sungguh percaya akan kamu
    Hanya doa yang bisa aku titipkan dalam tiap sujud membawa namamu
    Memohon untuk menjaga hatimu hanya untuk aku
    Kita bertemu atas seizin Allah, begitu katamu
    Aku mengaminkan

    00.38
    21 Maret 2015

  41. Stay Positive

    Friday, March 20, 2015

    Aku mempelajari hal hebat dari orang yang begitu ikhlas menjalani hidupnya.
    Belum ada kata marah pada hidup, apalagi menyalahkan takdir dalam ucapnya.
    Selalu berusaha menghadirkan senyum dan tawa pada diri orang lain, tanpa sempat memikirkan dirinya sendiri.
    Ia hanya ingin berarti dan bermanfaat.

    Entah kenapa hari ini ingin menulis tentang hal ini.
    Hidup adalah bagaimana kita memaknai dan menikmatinya. Mengikuti semua rencana Tuhan yang telah disiapkan dengan indah. Keyakinan ini selalu dipupuk untuk membuat kita bersyukur pada apapun yang kita terima dan jalani.
    Menyalahkan keadaan, atau sekedar bersumpah serapah pada masalah yang kadang menghampiri kita tanpa negosiasi, memang adalah hal yang paling mudah untuk kita lakukan. Emosi meningkat, fikiran negatif menguasai, dan semua terlihat serba mencurigakan. Kepuasaan pasti akan terasa ketika itu. Iya, ketika itu saja. Karena setia pada yang baik adalah upaya yang tidak pernah sia-sia.
    Malam itu aku membaca tentang apa yang disebut “mimpi harus kita punya”. Tanpa mimpi, bagaimana orang macam kita bisa bertahan hidup? Bukankah bermimpi itu gratis? Tinggal bagaimana kita mampu melampaui mimpi-mimpi itu. Anies Baswedan mengatakan “Pemimpin itu adalah Pemimpi+N. N nya adalah Nyali” jadi untuk menjadi pemimpin, kita cukup menjadi seorang yang berani bermimpi. Subhanallah.
    Seorang yang baru aku kenal, yang saat ini membuatku menghabiskan bermenit-menit dalam jeda kegiatanku untuk sekedar merenungi makna hidup. Ia adalah seorang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Hidupnya enak? Tentu tidak, terlalu banyak pembelajaran hidup yang ia dapatkan di usianya yang masih terbilang muda. Karena orang besar dilahirkan dari rahim kehidupan yang kaya akan makna dan proses hidup yang tidak boleh mudah. Ia terlalu kuat jika hidupnya tanpa liku.
    Banyak mengalami kesulitan, cobaan dan hal yang menakjubkan membuatnya kerap mengeluh? Rasanya tidak. Ternyata ia benar-benar seorang pemimpin. Tidak mengenal penyesalan, keluhan, apalagi serapah pada kehidupan. Optimis itu harus kata dia, “tidak ada yang tidak mungkin jika yang diatas sudah berkehendak” begitu ucapnya ketika itu. Ucapan itu terdengar biasa saja, banyak yang sudah mengucapkannya. Tapi ia mengatakan itu karena sudah merasakan asam manis garam kehidupan di usianya yang muda, dan ia benar memegang prinsip itu dalam menjalani hidup. Semoga mimpinya terlampaui, mengukir senyum di bibir kedua pahlawannya, Ayah dan Ibu.
    Lalu ia menghabiskan waktu luangnya di antara anak-anak jalanan. Transfer ilmu pengetahuan dan berupaya memenuhi hak bahagia anak-anak. Nampaknya, lingkup ini mengajarkan berjuta makna pada dirinya. Jangan pernah merasa menjadi orang paling sulit dalam hidup. Mensyukuri segala nikmat dari Tuhan, nikmat hidup, nikmat bersaudara, nikmat dilahirkan dan sebagainya bisa kita lakukan ketika kita ikhlas.
    “Ikhlas itu adalah bersyukur bahwa apa yang kita dapat hari ini adalah hal terbaik yang diberikan oleh Sang Pemilik Rezeki. Bahwa, masalah yang kamu hadapi saat ini adalah rezeki terbaik bagi kamu. Ingat, Dia tidak pernah salah memilihkan peran dan skenario hidup seseorang” -9 Matahari-
    Setiap perkenalan akan memberikan pembelajaran baru jika kita mampu memaknai dan menghargai setiap pribadi. Setialah pada yang baik. Berupaya naik kelas dalam sekolah kehidupan, dan tentunya berikanlah kebermanfaatan untuk lebih banyak sesama. Stay Positive!




  42. Detik ini nadiku berdetup lebih getar,
    wajahku kebas membaca kata-kata cintamu
    Ini nyata atau hanya sekedar fatamorgana
    Entah, yang aku tau cinta telah merasuk dalam relung hati,
    melemahkan jiwaku, hingga merusak logikaku

    Masih terukir sempurna lekuk senyummu serupa capture itu, ya aku merindukanmu
    Tak puas rasanya hanya memandangmu lewat layar kecil tanpa suara
    Melumat tiap sudut senyummu tanpa alpa sesenti pun,
    aku sudah mampu melukismu dengan cinta

    Lalu kamu menuntunku untuk lagi mengalahkan jarak dan waktu
    Karena bagiku tiap butir doalah yang mampu mendekatkan jarak
    Hingga kau mengajarkan aku menghargai waktu untuk mencintaimu

    Untuk semua kata,
    untuk semua tawa
    Dan untuk semua air mata,
    Aku untai sebait ucap, terima kasih sayang..

    18 Maret 2015

    berpuisi bersama Seniman Malam



  43. Sore itu hujan turun tak seramah hari-hari kemarin
    Gelap tanpa ampun dan tularkan dingin sedalam-dalam sukma
    Aku tak mengapa biru membeku senja ini
    Asalkan jangan kamu
    Berucap dingin tak terkira, pucat pasi tak bisa lagi kau tutupi

    Hari itu kamu menangis adik
    Serasa runtuh hatiku mendengar isakmu
    Tersedak lendir yang bersarang jahat di rongga hidungmu
    Sesak mengguncang bahumu yang semakin ringkih
    Jangan, jangan lagi kau jatuhkan air matamu

    Karena pangeran Ibu akan tetap jadi jagoan istana kita
    Matamu masih berkata kalau semua akan baik-baik saja

    Masih terasa hangat genggam tanganmu dini hari malam lusa kemarin,
    ketika suhu tubuhmu lagi-lagi naik,
    Aku akan tetap di sini

    Selalu manis terdengar sapaanmu setiap waktu
    Karena hanya kamu adikku

    Tenang, Allah bersama kita

    12 Maret 2015