"Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik"
"Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik"
Pramoedya Ananta Toer
Terlebih sastra, aku
terlalu menikmati sastra, mencintai dan terlalu bermesra dengannya. Entah
kenapa dan mengapa, cita-citaku sedari kecil selalu tertulis dua profesi. Iya,
cita-citanya selalu berubah. Pernah aku menulis cita citaku di bangku sekolah
dasar dulu, ingin menjadi Sastrawan dan Guru, atau Sastrawan dan dokter, hingga
saat ini aku mempunyai cita cita menjadi Sastrawan dan Entrepreneur. Tidak
pernah berubah sedari kecil, profesi Sastrawan selalu aku tulis di urutan
pertama. Entah, Sastra terlalu mempesona dan setia, seperti ketika aku begitu
dimabukkan dan menulis puisi “Pesona Sastra” di blog ini juga. Bukan, aku bukan
seorang ahli sastra terlebih orang yg begitu mempelajari teori sastra, aku
hanya penikmat dan pecinta, terutama puisi.
Puisi adalah ungkapan
paling jujur, begitulah aku menggambarkannya. Aku terbiasa mengungkapkan yg
menekan hati, membuncah bahagia, terluka karena duka, atau meletup syukur di
dada ke dalam selarik puisi. Terasa begitu lepas dan tenang ketika usai doa,
lalu menumpahkan kembali dalam harmoni kata, aah puisi terlalu sakral di
hidupku. Puisi itu anggun, berkarakter, cantik, gagah, jujur, berani dan sering
religius. Entah bagaimana menggambarkannya, kadang aku mencintai karyaku
sendiri, dan berkali kali jatuh cinta pada untaian kata penyair lain yang jauh
lebih merdu melodi kata-katanya.
Tentang ruang yang aku
sebut puisi, aku pribadi memasukinya dengan begitu khusyuk, karena itu ruang kejujuran
asaku. Tidak tahu dengan penyair lain, ada yang menuliskan puisi untuk bergerak
dan melawan ketertindasan, sebut saja Widji Thukul. Atau menggambarkan pribadi
bangsa dalam pandangan pemuda, seperti Chairil Anwar. Tapi aku bukan ahli
pengamat tokoh sastra, aku suka mengamati karya
yang begitu murni dari pribadi-pribadi di sekitarku. Aku mengenal
Tentang manisnya untaian kata yang pertama kali dikenalkan oleh penyair
terdekatku, Rahmah Amalya, kakakku sendiri, dialah guru terbaik yang tetap
anggun dengan kata-katanya. Ia menuliskan puisi untuk menumpahkan tangis di
selipan kata, karena tangis kita tak pernah berisik, tapi itulah nyawanya, aku
mengaguminya. Di antara padatnya makna, dia bercerita banyak dalam puisi dan
singkatnya sajak. Puisi tetap menjadi ungkapan paling jujur mungkin baginya. Lalu
banyak lagi pribadi lain yang gemar merangkai kata, tidak bisa kusebutkan satu
persatu, tetap apresiasiku penuh untuk mereka yang bersastra.
Belakangan aku terusik
dengan prinsipku sendiri. Iya, tentang jujurnya puisi sebagai ungkapan, rasanya
tidak semua pribadi begitu. Entah mengapa renunganku berakhir dengan kesimpulan
bahwa banyak pengembara asrama menggunakan puisi sebagai pegumbar nafsu,
sebagai alat penakluk hati tanpa memandang kesakralan puisi. Ketika harmoni
kata benar hanya permainan yang akan berujung pada kata “Game Over”. Puisi itu
adalah ungkapan paling jujur, jangan digunakan sebagai alat melukai terlebih
menyakiti hati, ia terlalu anggun untuk kelas permainan pencarian asmara.
Terlebih terselip doa dalam baitnya, aah keterlaluan, semudah itukah berucap?
Tak pernah terduga dan
terfikirkan sebelumnya, ketika ruang ini yang dimasuki dengan sembarang.
Mencoret dinding serampangan tanpa peduli bekasnya hanya mengganggu. Tak
perduli tentang hati yang sungguh begitu sakral menyulam kata. Benar-benar
tidak terduga ketika ini hanya permainan, karena memang aku mengutamakan apa
adanya, karena itu adalah yang terbaik.
Berbicara tentang kata,
tak pernah usai. Untuk kata dan doa yang sempat terjalin, ikhlas dan syukur
yang bisa dipupuk asa. Semoga tidak lagi ada hati terluka karena puisi yang
serupa bayang, hanya permainan. Puisi menenangkan, anggun dan tempat
berekspresi dengan jujur, bukan komedi kata, bukan lelucon semata.
Salam Penyulam Kata
Jakarta, 14 Mei 2015
0 komentar:
Post a Comment